Manajemen Pengambilan Keputusan

Nama                          :           Rizky Wiratama

Nim                             :           201410050311040

Fakultas / Prodi          :           Ilmu Sosial dan Ilmu Politik / Ilmu Pemerintahan

Mata Kuliah               :           Azas-azas Manajemen

 

Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan sangat penting dalam manajemen dan merupakan tugas utama dari seorang pemimpin (manajer). Pengambilan keputusan (decision making) diproses oleh pengambilan keputusan (decision maker) yang hasilnya keputusan (decision).

Defenisi-defenisi Pengambilan Keputusan Menurut Beberapa Ahli :

  1. R. Terry

Pengambilan keputusan dapat didefenisikan sebagai “pemilihan alternatif kelakuan tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada”.

Harold Koontz dan Cyril O’Donnel

Pengambilan keputusan adalah pemilihan diantara alternatif-alternatif mengenai sesuatu cara bertindak—adalah inti dari perencanaan. Suatu rencana dapat dikatakan tidak ada, jika tidak ada keputusan suatu sumber yang dapat dipercaya, petunjuk atau reputasi yang telah dibuat.

Theo Haiman

Inti dari semua perencanaan adalah pengambilan keputusan, suatu pemilihan cara bertindak. Dalam hubungan ini kita melihat keputusan sebagai suatu cara bertindak yang dipilih oleh manajer sebagai suatu yang paling efektif, berarti penempatan untuk mencapai sasaran dan pemecahan masalah.

Drs. H. Malayu S.P Hasibuan

Pengambilan keputusan adalah suatu proses penentuan keputusan yang terbaik dari sejumlah alternative untuk melakukan aktifitas-aktifitas pada masa yang akan datang.

Chester I. Barnard

Keputusan adalah perilaku organisasi, berintisari perilaku perorangan dan dalam gambaran proses keputusan ini secara relative dan dapat dikatakan bahwa pengertian tingkah laku organisasi lebih penting dari pada kepentingan perorangan.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan adalah proses pemilihan alternatif solusi untuk masalah. Secara umum pengambilan keputusan adalah upaya untuk menyelesaikan masalah dengan memilih alternatif solusi yang ada.

Sumber : http://bukunnq.wordpress.com/makalah-pengambilan-keputusan-secara-objektif-dan-konstruktif/

Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik

Heboh DPRD NTT yang mengambil porsi dana PDAS 2001 sebesar 43,8 % atau dana APBD 47,4 % sungguh menyentak hati nurani kita sebagai warga rakyat NTT. Betapa tidak, dana PADS yang keseluruhan berjumlah Sembilan belas milyar delapan ratus juta rupiah (Sasando Pos 1 & 10 Maret 200) merupakan dana yang dikumpulkan secara susah payah dari seluruh masyarakat NTT yang bekerja keras membangun perekonomian keluarganya sekaligus perekonomian NTT. PADS merupakan akumulasi dari berbagai masukan yang berasal dari setoran BUMD, retribusi, kekayaan SDA dll disiapkan terlebih untuk memakmurkan rakyat, sehingga pembenaran dalam bentuk apapun, termasuk demi pemberdayaan anggota dewan seperti yang dikatakan Ketua Komisi B DPRD NTT Ir. Umbu Pura Woha sungguh tidak dapat diterima dan tidak masuk akal sehat. Perlu penjelasan kepada publik dan pertanggungjawaban dari anggota dewan yang terhormat atas pengambilan porsi PADS tersebut Kejadian seperti ini semakin menunjukkan dan membenarkan asumsi dan indikasi akan lemahnya mekanisme sistem kontrol yang dimiliki masyarakat terhadap wakil rakyat yang menyatakan dirinya sebagai penyambung aspirasi masyarakat. Beruntunglah kita masih mempunyai rakyat dan mahasiswa kritis yang diwakili teman-teman dari LSM maupun kelompok JALUR (Jaringan Peduli Uang Rakyat) yang berani menyuarakan protes rakyat yang sebagian cenderung diam karena ketidaktahuannya maupun karena apatis. Sikap diam rakyat janganlah diartikan sebentuk jawaban persetujuan atas keputusan dan ulah anggota dewan. Hikmah dari peristiwa yang menghebohkan ini telah menyadarkan bahwa sebagai rakyat, kita ternyata telah kehilangan dua hak pokok yang sangat strategis yakni pertama pada tingkat mengakses informasi yang berkaitan dengan kepentingan rakyat, dan kedua adalah kontrol atas keputusan-keputusan yang diambil oleh para wakil rakyat yang menyangkut kepentingan publik maupun pelaksanaannya oleh eksekutip.

Politik massa mengambang.

Kehadiran Orde Lama dan Orde Baru selama hampir 54 tahun ternyata tidak terlalu banyak memberi sumbangan bagi pencerahan dan pencerdasan pemahaman politik masyarakat yang diklaim dilayani dan disejahterakan. Kebijakan politik massa mengambang selama ORBA telah menjauhkan masyarakat dari politik sehingga berdampak sampai saat ini dimana terlihat rakyat kebanyakan masih beranggapan masalah politik tidak penting karena tidak berkaitan langsung dengan hidupnya, dan yang lebih penting adalah bagaimana berjuang untuk terus bertahan hidup. Rakyat kurang paham akan pentingnya partisipasi dalam politik, karena secara mikro tidak langsung menyentuh kehidupannya, padahal secara makro keputusan yang dibuat oleh DPR (legislatip) maupun pemerintah (eksekutip) akan berpengaruh besar terhadap kehidupannya meskipun tidak langsung seperti antara lain kenaikan listrik, BBM, sembako dll. Slogan ORBA yakni “ Politik No, Pembangunan Yes” telah merasuk kedalam pola pikir rakyat, terlebih rakyat kecil yang menjadi korban dan dikorbankan sebagai tumbal pembangunan. Rakyat kecil yang jujur dan polos namun telah kenyang berjuang dengan linangan dan kubangan air mata yang telah habis terkuras meskipun didampingi para ksatria sejati (baik dari kalangan intelektual sejati, LSM kritis, agamawan nurani, pers idealis maupun dari kalangan masyarakat peduli sosial), ternyata dalam masa ORBA tetap sebagai pihak yang kalah, dan kebenaran yang dimiliki rakyat tidak menjamin adanya kemenangan karena begitu dominannya pemerintah terhadap rakyat. Kekalahan dan ketertindasan rakyat kecil, secara dibawah sadar telah mengajarkan kepada rakyat lainnya untuk tidak coba-coba berlagak sok idealis dan menerapkan lagu mars yang kita kenal ‘maju tak gentar membela yang benar”. Pengalaman empiris mengajarkan untuk tidak mencoba melawan pemerintah ORBA apabila tidak ingin dimatikan hak politik dan hak pribadi diri dan keluarganya. Lebih baik rakyat kecil bernyanyi “ Bintang kecil di langit yang tinggi” sebagai impian, sementara para penguasa dengan nikmatnya melantunkan lagu “kemesraan” dalam ber KKN ria.

Hutang luar negeri atas nama rakyat, dan pengurasan SDA demi terpenuhinya APBN dan APBD ternyata lebih banyak masuk ke kantong-kantong penguasa dan kroni-kroninya. Atas nama pembangunan bangsa , telah berapa banyak korban rakyat baik jiwa maupun penderitaan batin karena harus tergusur, keluar dari tanah leluhurnya yang telah diakrabinya sejak kecil . Pertambangan rakyat digusur dan digantikan dengan perusahaan multinasional, yang mampu menyediakan “angpao” untuk para penguasa. Hak-hak atas tanah adat/ulayat tidak diakui dan diklaim sebagai milik negara yang kemudian dibagikan kepada pengusaha dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan yang berubah akronimnya menjadi Hak Perusakan Hutan, dalam kenyataannya). Dana yang masuk dari pengusaha digunakan oleh partai/ orsospol yang berkuasa sebagai dana taktis untuk memenangkan pemilu. Inilah wajah dari praktek otorianisme yang didukung pendekatakan keamanan (militeristik). Suara-suara yang menyatakan bahwa ORBA lebih baik daripada Orde Reformasi Transisi dengan alas an pembenaran karena lebih mampu memberi rasa aman, stabilitas politik terjamin, harga sembako murah, dll telah membuktikan ‘ keberhasilan proses pembodohan politik, sosial dan ekonomis ‘ yang secara sangat halus, perlahan dan sistematis telah mampu menumpulkan daya analitis banyak pihak yang hanya mau berpikir secara pragmatis, instan, berjangka pendek, meskipun secara prinsipal berlawanan dengan jiwa dan semangat pembukaan UUD 45 yakni antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa. Dampak jangka panjang dari politik massa mengambang telah m,engakibatkan rakyat mengalami kebingungan dan gamang melihat situasi yang semakin rumit dan tidak menentu di negeri yang kita cintai serta tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Penyadaran melalui pendidikan politik

Sudah saatnya sekarang untuk meninjau kembali sistem ketatanegaraan Indonesia, karena baik Soekarno maupun Soeharto melakukan kesalahan yang sama. Perlu dikaji lebih dalam mengapa orang –orang terbaik pilihan bangsa yang menjadi orang nomor satu di republik ini selalu berakhir dengan tragedi. Mengapa sejarah selalu berulang dan para pelakunya tidak mau belajar dari pengalaman sebelumnya ? Apakah setelah Habibie, maka Gus Dur juga akan mengalami nasib serupa dan seterusnya ? Perlu perbaikan sistem yang menyeluruh dalam ketatanegaraan kita yang mampu memisahkan kekuasaan eksekutip , legislatip, dan yudikatip dan mempunyai sistem akses dan kontrol dari masyarakat terhadap ketiga lembaga sehingga kedaulatan benar-benar berada ditangan rakyat. Diperlukan percepatan proses perubahan amandemen UUD 45 yang tidak hanya melibatkan elit politik tetapi juga menjadi wacana diskusi di tingkat publik (masyarakat). Masyarakat harus diajak, disadarkan serta dikondisikan untuk berani menyatakan dan menyuarakan pendapatnya yang disertai argumen yang jernih, logis, dan demi kepentingan rakyat kebanyakan, seperti mengenai kebijakan politik (Amandemen UUD 45, Undang-Undang, PP, Kepres , termasuk penyedotan 43,8 % anggaran PADS oleh anggota DPRD dll) yang akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Maka slogan “Politik No, Pembangunan Yes’ harus digantikan dengan “ Politik Yes, Pengembangan Masyarakat menuju kesejahteraan Yes’. Politik harus diartikan sebagai sarana kegiatan untuk memperjuangkan kepentingan bersama bangsa melalui partai politik yang dipilih dan diyakini mampu mewujudkan kehidupan kebangsaan menuju perwujudan sila-sila Pancasila dalam keseharian. Maka ketika kehidupan politik kita mendasarkan pada antara lain sila pertama berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, proses pembunuhan /pembantaian antar suku, agama, kepentingan politik maupun kegiatan dekstruktif lainnya dalam bentuk teror seperti diskriminasi, pembakaran, pengeboman dll secara moral menjadi tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Orientasi para politisi yang masih memakai paradigma lama meskipun mengaku baru, yakni ‘politik untuk kekuasaan’ harus diakhiri dan digantikan dengan paradigma baru yakni ‘politik untuk kesejahteraan rakyat’ yang bertujuan mewujudkan sila kelima yakni’ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Dengan demikian “Suara rakyat adalah suara Tuhan” benar-benar dijiwai oleh para politisi dan tidak lagi menonjolkan kekuasaannya, karena kekuasaan yang ada ditangannya disadari adalah pinjaman dari rakyat yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali apabila rakyat tidak mempercayainya lagi. Jangan mentang-mentang menjadi wakil rakyat terus menjadi penguasa yang sok merakyat, sok pejuang, padahal rakyat dengan pintar dan cerdas dapat melihat dengan kasat mata bahwa yang dipikirkan wakil rakyat hanya bagaimana untuk terus dapat menduduki kursi empuk yang menyajikan kenikmatan duniawi semata . Janganlah para penguasa mengikuti tayangan iklan sebuah produk furniture ‘Kalau sudah duduk lupa berdiri’ yang dapat diartikan kalau sudah jadi anggota dewan, lupa dengan nasib rakyat yang diwakilinya. Alasan yang dibuat-buat yang dengan terang-terangan menyedot uang rakyat tanpa mensejahterakan rakyat, sudah tidak dapat diterima ditengah masyarakat yang kritis, dan di kalangan kaum menengah yang peduli pada penderitaan rakyat. Seharusnya para anggota dewan terhormat harus mampu menjaga kehormatan dan wibawa tidak dengan cara-cara lama seperti mencari kambing hitam, mencurigai adanya pihak ketiga yang menunggangi dsb, tetapi dengan tingkah laku yang peka akan ampera (amanat penderitaan rakyat), meningkatkan kinerja yang dapat secara langsung hasilnya dirasakan rakyat. Ruang sidang yang sebenarnya bagi politisi kerakyatan adalah ditengah-tengah kehidupan rakyat yang memberi mandat, yang saat ini sedang mengalami hidup susah karena didera krisis multi dimensi berkepanjangan, tiada tersedianya lapangan kerja yang cukup, tingginya biaya hidup karena kenaikan sembako, tarif listrik & telepon yang tinggi, kenaikan BBM, mahalnya biaya pendidikan dll. Janganlah anggota dewan merendahkan diri sendiri hanya karena tidak mampu meminta dan mengucap kata maaf kepada rakyat atas kesalahan yang diperbuat baik sengaja maupun tidak sengaja, dan mencoba untuk berbalik menuju kebenaran demi kesejahteraan rakyat. Baju safari dan kemeja lengan panjang berdasi maupun simbol –simbol lainnya seperti kendaraan dinas yang exclusif sudah tidak mampu menambah rasa hormat rakyat, karena rakyat semakin menyadari bahwa selama ini mereka diberi impian kosong, janji-janji muluk, serta diperalat pada saat pemilu hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan yang menyebabkan kehidupan rakyat tidak berubah, bahkan semakin dalam terjemurus ke jurang kemiskinan dan ketakberdayaan. Rakyat dengan belajar dari pengalaman, semakin sadar bahwa tidak akan ada perubahan nasib jika hanya menyandarkan harapannya pada para legislatip dan eksekutip , dan hanya rakyat sendirilah yang mampu menolong dirinya sendiri. Rakyat menjadi kebal, muak dan apatis terhadap pidato yang retoris, berapi-api namun terlupakan dalam realisasinya. Rakyat bukan seperti keledai bodoh yang akan terantuk kembali pada batu yang sama untuk kedua kalinya, maupun kecebur didalam lubang yang sama. Mereka sudah mengetahui ‘praktik permainan politik kotor’ para politisi yang menggunakan mereka sebagai batu loncatan/pijakan untuk para politisi mengenyam hidup nikmat.

Sudah saatnya para politisi untuk ditantang keluar dari ruang sidang yang ber AC menuju ruang sidang sebenarnya yakni ditengah-tengah rakyat kecil yang hidup susah di daerah kumuh kota maupun di masyarakat pedesaan terpencil yang belum memperoleh pelayanan yang memadai dari pemerintah ( baik di bidang transportasi darat & laut ,listrik, sarana komunikasi, belum ada jamban/WC, sanitasi yang jelek, mengalami susah pangan dll, ) meskipun rakyat telah merdeka hampir 56 tahun lamanya. Beranikah wakil rakyat yang terhormat demi mewujudkan kepeduliannya, permberdayaan diri dan mengasah kepekaan hati nurani melakukan ‘live in’ ke desa terpencil dan daerah kumuh selama sebulan untuk bergaul dan bergumul dengan permasalahan nyata masyarakat kecil sehari-hari dan mengetahui dengan sesungguhnya apa yang terjadi dengan rakyat yang diwakilinya ? Maukah para politisi memperjuangkan secara maksimal pengadaan sarana dasar untuk sebuah kehidupan pedesaan secara layak ? Sudahkan para wakil rakyat secara bersama-sama dengan semua pihak yang peduli rakyat memikirkan pelaksanaan penguatan ekonomi rakyat secara nyata sampai pada pelaksanaannya (termasuk didalamnya menaikkan harga hasil pertanian, perkebunan milik rakyat dll) ?

 

Solusi

Mari kita bangun perpolitikan yang sehat dan menggunakan akal budi yang luhur serta nurani melalui tindakan nyata keseharian para politisi yang langsung menyentuh kepentingan rakyat kebanyakan. Kita jauhkan perdebatan politik tingkat tinggi yang hanya memuaskan diri para politisi, namun menyengsarakan rakyat yang diwakilinya. Mari kita kurangi ‘masturbasi/onani politik’ yang hanya membuang energi percuma dan hanya memuaskan ego, namun tidak memberi kemaslahatan bagi rakyat. Sudah cukup penderitaan rakyat untuk tidak ditambah. Sebaiknya para politisi belajar dari sebuah episod bijak mengenai Goliat dan Daud, dimana meskipun Goliat berbadan besar dan berkuasa namun kalah oleh Daud yang meskipun kecil tetapi cerdas dan diberkati Tuhan. Salam untuk para wakil rakyat dari saya, salah seorang dari rakyat kebanyakan yang mencoba menggunakan haknya untuk mengontrol anggota dewan terhormat sehingga tetap terjaga kehormatannya sampai pemilu berikutnya . Biarlah kita bersama saling memaafkan, saling belajar dari kesalahan dan menuju kebenaran, saling menjadi lebih bijak satu dengan yang lain, sehingga kita mampu mengedepankan nasib rakyat diatas nasib kita sendiri. Horas wakil rakyat, sebaiknya lirik lagu Iwan fals tentang wakil rakyat tidak perlu didendangkan lagi dijaman reformasi karena memang seharusnya tinggal hanya kenangan.

Sumber : http://adikarsa.wordpress.com/2008/09/11/peningkatan-partisipasi-masyarakat-dalam-pengambilan-keputusan-publik/

 

Leave a comment